Resiko Penggunaan Ponsel Terus Menerus


Tidak bisa dipungkiri bahwa telepon seluler (ponsel) telah banyak menghadirkan berbagai kemudahan dalam hidup manusia. Meski banyak diperdebatkan, banyak kalangan khawatir akan dampak negatif dari radiasi yang ditimbulkan.
Penelitian terbesar yang pernah dilakukan tentang bahaya ponsel telah membantah adanya risiko kanker otak pada penggguna ponsel. Penelitian yang dilakukan sendiri oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) tersebut menunjukkan risikonya tidak terlalu besar untuk dikhawatirkan.

Namun penelitian terbaru di India kembali menegaskan adanya ancaman kanker terutama pada anak dan remaja. Sang peneliti, Prof Girish Kumar bahkan mengatakan bahaya radiasi juga terdapat di sekitar menara Base Transceiver Station (BTS).
"Satu BTS bisa memancarkan daya 50-100W. Negara yang punya banyak operator seluler seperti India bisa terpapar daya hingga 200-400W. Radiasinya tak bisa dianggap remeh, bisa sangat mematikan," ungkap Prof Kumar.

Dikutip dari DNAindia, berikut ini sejumlah dampak negatif yang bisa ditimbulkan akibat radiasi yang berlebihan dari ponsel dan menara BTS:

1. Risiko kanker otak pada anak-anak dan remaja meningkat 400 persen akibat penggunaan ponsel. Makin muda usia pengguna, makin besar dampak yang ditimbulkan oleh radiasi ponsel.
2. Bukan hanya pada anak dan remaja, pada orang dewasa radiasi ponsel juga berbahaya. Penggunaan ponsel 30 menit/hari selama 10 tahun dapat meningkatkan risiko kanker otak dan acoustic neuroma (sejenis tumor otak yang bisa menyebabkan tuli).
3. Radiasi ponsel juga berbahaya bagi kesuburan pria. Menurut penelitian, penggunaan ponsel yang berlebihan bisa menurunkan jumlah sperma hingga 30 persen.
4. Frekuensi radio pada ponsel bisa menyebabkan perubahan pada DNA manusia dan membentuk radikal bebas di dalam tubuh. Radikal bebas merupakan karsinogen atau senyawa yang dapat memicu kanker.
5. Frekuensi radio pada ponsel juga mempengaruhi kinerja alat-alat penunjang kehidupan (live saving gadget) seperti alat pacu jantung. Akibatnya bisa meningkatkan risiko kematian mendadak.
6. Sebuah penelitian membuktikan produksi homon stres kortisol meningkat pada penggunaan ponsel dalam durasi yang panjang. Peningkatan kadar stres merupakan salah satu bentuk respons penolakan tubuh terhadap hal-hal yang membahayakan kesehatan.
7. Medan elektromagnet di sekitar menara BTS dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. Akibatnya tubuh lebih sering mengalami reaksi alergi seperti ruam dan gatal-gatal.
8. Penggunaan ponsel lebih dari 30 menit/hari selama 4 tahun bisa memicu hilang pendengaran (tuli). Radiasi ponsel yang terus menerus bisa memicu tinnitus (telinga berdenging) dan kerusakan sel rambut yang merupakan sensor audio pada organ pendengaran.
9. Akibat pemakaian ponsel yang berlebihan, frekuensi radio yang digunakan (900 MHz, 1800 MHz and 2450 MHz) dapat meningkatkan temperatur di lapisan mata sehingga memicu kerusakan kornea.
10. Emisi dan radiasi ponsel bisa menurunkan kekebalan tubuh karena mengurangi produksi melatonin. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mempengaruhi kesehatan tulang dan persendian serta memicu rematik.
11. Risiko kanker di kelenjar air ludah meningkat akibat penggunaan ponsel secara berlebihan.
12. Medan magnetik di sekitar ponsel yang menyala bisa memicu kerusakan sistem syaraf yang berdampak pada gangguan tidur. Dalam jangka panjang kerusakan itu dapat mempercepat kepikunan.
13. Medan elektromagnetik di sekitar BTS juga berdampak pada lingkungan hidup. Burung dan lebah menjadi sering mengalami disorientasi atau kehilangan arah sehingga mudah stres karena tidak bisa menemukan arah pulang menuju ke sarang.

Fisika dalam Sepakbola: Aerodinamika Tendangan Pisang



Pada tahun 2010 lalu, seantero dunia melupakan sejenak urusan mereka dan dipersatukan dalam ajang olahraga terbesar di dunia, FIFA World Cup 2010 atau yang kita kenal sebagai Piala Dunia 2010 yang digelar di negara ujung benua Afrika, Republik Afrika Selatan. Sepakbola merupakan salah satu olahraga tertua dan tidak diragukan lagi memang merupakan olahraga paling populer di dunia dengan peminat dari usia dini hingga senja.
Tidak hanya para pecinta sepakbola yang terbuai oleh keindahan permainan olahraga ini. Seorang fisikawan Amerika Serikat, John Eric Guff memfokuskan penelitiannya kepada aerodinamika bola sepak. Salah satu fokus penelitiannya adalah bagaimana seorang pesepakbola dapat melakukan tendangan “pisang” atau melengkung pada saat tendangan bebas atau sudut.
Guff meninjau aspek fisika dari sepakbola dengan menguji gerakan bola sepak di dalam sebuah terowongan berangin. Salah satu aspek fisika yang terlibat antara lain adalah bilangan Reynolds, Re = VD/ν, dengan V kecepatan relatif antara pusat massa bola dengan udara, D diameter bola, dan v merupakan rasio kinematik udara. Bilangan ini akan mempengaruhi kecepatan dan gerakan bola di udara maupun fluida lainnya.
Untuk sebuah tendangan bebas yang efektif, seorang pesepakbola membutuhkan energi yang cukup besar agar bola tersebut memiliki kecepatan awal yang besar. Sebagai ilustrasi, Steven Gerrard (Kapten Liverpool F.C; Timnas Inggris) akan melakukan sebuah tendangan bebas dengan dihadang enam orang sebagai pagar betis. Gerrard tidak mungkin melakukan sebuah tendangan lurus karena akan dihadang, untuk mengatasinya ia memutuskan untuk melakukan tendangan pisang. Untuk tendangan lurus yang keras, Gerrard membutuhkan tendangan yang berpusat pada pusat massa bola dan kecepatan inisial yang besar. Sedangkan untuk melakukan tendangan pisang dibutuhkan sebuah sudut yang tepat selain kecepatan awal yang besar agar bola tersebut dapat memutar dan melengkung di udara. Kecepatan sudut bola yang berputar yang dihasilkan dari tendangan ini ialah sekitar 600 rpm. Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.



Bola yang berputar akan menggerakkan udara di belakangnya sehingga memunculkan suatu gaya baru, yang disebut sebagai gaya Magnus. Gaya dari udara ini yang akan mempercepat gerakan bola sehingga tercipta suatu fenomena dimana bola akan memiliki kecepatan lebih besar daripada yang terduga. Itulah sebabnya mengapa setiap tendangan bebas yang melengkung selalu terjadi dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan jenis tendangan lainnya.
Hasil eksperimen ini dapat digunakan untuk menguji kelayakan bola sepak, agar tidak terjadi lagi kontroversi seperti halnya Jabulani, bola resmi Piala Dunia 2010 Afrika Selatan. Jelas terlihat bahwa olahraga ini tidak hanya diminati oleh para pecinta sepakbola, tetapi juga oleh kalangan ilmuwan sebagai bahan riset mereka.
Diterjemahkan secara bebas dari www.sciencedaily.com dan www.physicstoday.com

dikutip dari : NetSains.com

DI usia yang sudah lanjut, banyak yang mengalami stres dan tekanan darah yang tidak menentu. Akibatnya, para lansia cenderung mengalami kesepian dan susah tidur. Untuk mengatasinya, salah satu hal yang dapat dilakukan ialah dengan light therapy atau terapi lampu.

Dengan metode light therapy, terbukti ampuh membuat lansia lebih stabil dan dapat beristirahat cukup tanpa harus menggunakan cara medis.

Alat sederhana ini diberi nama light box. Alat inilah yang digunakan untuk melakukan terapi yang diberi nama terapi lampu. Alat ini hanya terdiri dari lampu khusus berwarna biru yang diletakkan di dalam kotak, dan diberi penyetel waktu saat menyala.

Light therapy hanya dilakukan pada lansia yang berumur rata-rata 45 tahun hingga 90 tahun, memiliki insomnia, stres, dan depresi, serta memiliki tekanan darah tinggi.

Sebaiknya, terapi dilakukan mulai pagi hari. Sebelum dilakukan terapi, para lansia diperiksa tekanan darahnya, dan diukur suhu tubuh.

Selanjutnya, penderita dilakukan terapi awal. Penderita dibawa ke dalam ruangan dengan kondisi gelap tanpa ada sinar matahari. Terapi awal dilakukan untuk merangsang hormon melatonim. Hormon hanya dapat dihasilkan oleh kelenjar pineal di dalam otak dan pembentukannya akan dipicu oleh gelap.

Lalu, penderita diminta untuk memandang light box yang dinyalakan dan hanya berintensitas 200-2500 lux atau 2,5 watt selama kurang lebih 10 menit.

Usai terapi awal, lansia dapat beraktivitas seperti biasanya. Selanjutnya menjelang malam hari, kembali dilakukan pemeriksaan darah, dan pengukuran suhu tubuh. Selama istirahat malam ruangan dipasang lampu berwarna biru dengan kondisi tertutup selama 9 jam. Selama dilakukan terapi, penderita dilarang meminum obat-obatan.

Terapi lampu secara efektif dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Meski tampak sederhana, namun hanya dalam tiga hari sudah cukup membuahkan hasil.

Seperti yang terjadi pada Parsini. Nenek sebatangkara berusia 60 tahun ini mampu merasakan kelebihan terapi tersebut. Sebelum dilakukan terapi, nenek ini hanya tidur selama dua jam dalam sehari. Bahkan dia mengaku pernah tidak tidur hingga dua hari penuh.

Kini setelah dilakukan terapi selama tiga hari, Parsini sudah mengalami kwalitas tidur yang lebih baik, dan tekanan darah yang normal.

"Penemuan dan penggunaan terapi lampu dilakukan sekelompok mahasiswa kesehatan Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum, Jombang. Bermula dari sebuah penelitian di sekitar lingkungan melihat sejumlah orang utamanya lansia yang mengalami gangguan tidur," kata Parsini.

"Akibat orang yang susah tidur, mengalami pusing, tekanan darah tidak stabil, dan tidak nyaman selama menjalani aktivitas," kata salah seorang mahasiswa, Nurul Rohmatin.

Dikutip Oleh(Sholahudin/SUN TV/nsa)